Kisah Cinta Qais Dan Laila Dari
Persia,
Qais (Majnun) Yang Tergila-Gila Karena Cinta Hingga Membuatnya Menjadi
Benar-Benar Gila Dan Laila Yang Menyembunyikan Segenap Cintanya
Dalam Hatinya
Tentu Antum/Anti sudah pernah mendengar maupun membaca kisah ini
sebelumnya, suatu kisah cinta yang kerap dijadikan para ustadz/ustadzah sebagai
perumpamaan dalam menyampaikan ceramah – ceramah mereka. Kisah ini begitu
terkenal pada zamannya sampai sekarang ini, ratusan tahun lamanya sebelum kisah
“Romeo & Juliet” oleh Wiliam Shakespeare yang di agung-agungkan
didunia barat.
Selamat Membaca.
Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiliki segala
macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang
anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil.
Ketika semua
usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di
hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah
kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah
mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”
Mereka pun
bersujud kepada ALLAH, sambil berurai air mata dari
relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon
kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan
kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia
yang baik. Berikan kesempatan kepada
kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”
Tak lama kemudian, doa
mereka dikabulkan, dan ALLAH menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang
diberi nama Qais. Sang ayah
sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata
besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman.
Sejak
awal, Qais telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia
punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik,
menggubah syair dan melukis.
Ketika
sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah
yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya
beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan
keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.
Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari
kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam
malam; karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia
baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi,
sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar
pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.
Laila
dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah
saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan
ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua,
sekolah bukan lagi tempat belajar.
Kini,
sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar,
mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka
justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman
atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.
Mereka
buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai
mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman
itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan
sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar
bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah.
Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.
Ketika
Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia
meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya
dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya
di jalan-jalan.
Ia hanya
berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali
bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia
sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”
Akhirnya, Qais dikenal
dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat
orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia
hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila
telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari
bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun.
Majnun
menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari
Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang
mengalir ke bawah menuju desa itu.
Ia
berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa
yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia
menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta
memberitahunya bahwa ia dekat.
Ia
menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor
anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya
dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian.
Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama
seperti kekasihnya sendiri.
Bulan
demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada
Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa
melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang
mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang
betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu
hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian
terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad membantunya untuk
berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka
dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka
melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu
kamarnya.
Majnun
masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia
berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais.
Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari
jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari
membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya.
Ia
akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu
bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara
kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang
cintanya.
Pada
hari ketika Majnun masuk ke rumah Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan
indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar
bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan
bedak hitam yang disebut surmeh.
Bibirnya
diberi yang seperti lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak
menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.
Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun
akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi.
Majnun
berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila.
Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak
jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa
waktu.
Salah
seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar
kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang
pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya
sudah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit
bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan
segala sesuatunya.
Sesudah terjadi
peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di
rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi
Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan
tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia bisa
mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.
Ketika
ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk
mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah
kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun
disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang
tentang kebahagiaan anak-anak mereka.
Ayah
Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang
sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”.
Anak
lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup
memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan. Mendengar hal itu,
ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais.
Aku
percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab
ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku
berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia
berpakaian seperti seorang pengemis.
Ia
pasti sudah lama tidak mandi dan iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi
orang banyak. “Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan
engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada
anakku?”
Ayah
Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya
adalah teladan utama bagi kawan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang
paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat
dikatakannya.
Bahkan,
sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah lama orang tidak
mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan diam berpangku tangan
dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,” pikirnya. “Aku harus
melakukan sesuatu.”
Ketika
ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan
malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu,
gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa
mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya.
Di
pesta itu, Majnun diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil
melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai kesamaan
dengan yang dimiliki Laila. Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan
milik Laila; yang lainnya punya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya
lagi punya senyum mirip Laila.
Namun,
tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya, Malahan, tak ada
seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah
kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta
menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha mengelabuinya.
Dengan
berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai
berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya
jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya
memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan
membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.
Di
Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah,
tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para
Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal
saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa,
cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi
yang bisa ia lakukan untuk anaknya.
Usai
menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak
di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak
kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan
sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya.
Sesudah
itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya
mengirim segenap sahabatdan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil
menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh
binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.
Suatu
hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok
aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut
panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya
compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak
beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di
kakinya.
“Hus”
katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan. Sang musafir pun duduk
di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi.
Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah
Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan
orang di seluruh jazirah Arab.
Tampaknya,
Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan
sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari
kehidupan liar dan buas itu.
Berbagai
macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Majnun
tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan,
binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan
kasih sayang Majnun. Sang musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai
kidung pujiannya pada Laila.
Mereka
berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan perjalanannya.
Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhirnya,
sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta
keterangan rinci darinya. Merasa
sangat gembira dan bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun
sahara untuk menjemputnya.
Ketika
melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun
dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab
dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar Engkau menyelamatkan
anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang ayah menyayat hati.
Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya.
Dengan
bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai ayah, ampunilah aku
atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau
pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan ayah.
Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta.” Ayah dan anak pun
saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.
Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran
salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu
telah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya
dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia
tidak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.
Untuk mengungkapkan
segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada
kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia
diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas
kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam
potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara
demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.
Karena Majnun
sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun,
mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak
kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan
syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.
Sebagian orang merasa
iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan
tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta
dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang
dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang
berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah
mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali
mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.
Drama kisah tragis itu
membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad
melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini berarti
menghancurkan orang-orang yang menghalanginya! Kaetika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun
menghimpun pasukannya. Pasukan ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur
suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau terluka.
Ketika
pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan
kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan
putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin
membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah
bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.
Majnun
mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran,
Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan
menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan
penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.
Amr
pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia
membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa
kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian
bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini.
Apa
yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia
pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu
tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.
Laila
semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia
nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam
perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa,
melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya.
Tanpa
menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati
karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan
itu. Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih
senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.”
Akan
tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya.
Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega
bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.
Akan
tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa
mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena
itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin,
masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.”
Sekalipun
mendengar kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup
bersamanya beberapa waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya.
Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika
kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap
selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis.
Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul
di sekelilinginya pun turut bersedih.
Namun,
kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan
kedamaian dan ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia
pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan
malah menjadi semakin lebih dalam lagi.
Dengan
penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya:
“Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu
hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau
telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada
seseorang yang meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan
memanggil-manggil namamu, Laila”.
Sebagai
jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam
hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku
demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan
cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau
membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” .
“Kini,
aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi
milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih
dimabuk cinta, engkau ataukah aku?.
Tahun
demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal
di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama
sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan
melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi
satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di
atas tanah.
Selang
beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang
sanggup mengusik dan mengganggunya. Sebaliknya, Laila tetap setia pada
cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya.
Kendatipun
ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal
tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi
merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak
menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua
orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia
tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila.
Tak
sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya.
Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika
akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak
menjanjikan harapan lagi. Akibatnya,
pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia.
Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk
perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam,
padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya.
Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali
saja ia menangis.
Kini,
ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya.
Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih
berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai
pada diri wanita seusianya. Sementara api cintanya makin membara, kesehatan
Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan
baik selama bermalam-malam.
Bagaimana
ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah
Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan
lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan
pun menggerogoti kesehatannya. Ketika
Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun.
Ah,
kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia
hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang.
Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil
mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin,
dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil
bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.
Kabar
tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama
kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu,
ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri
selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju
desa Laila.
Nyaris
tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun
bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota . Ia berkabung
dikuburannya selama beberapa hari.
Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di
kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap
berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun peringatan
kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat
menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan
Laila.
Beberapa teman
sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih
segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua
kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.
Diambil dari Negeri Sufi ( Tales
from The Land of Sufis )
Tentang
Penulis Laila Majnun, Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizhami qs :
Syaikh Hakim Nizhami qs merupakan penulis sufi terkemuka diabad pertengahan
karena dua roman
cinta yang menyayat hati,
yaitu Laila & Majnun serta Khusrau & Syirin. Kisah sedih Laila &
Majnun , dimana Majnun yang berarti “Tergila-gila akan Cinta”, karena cintanya
yang tak sampai pada Laila, akhirnya membuatnya gila.