Jumat, 01 Maret 2019

KHUSRAU & SYIRIN, Kisah dari Persia



KISAH CINTA ROMANTIS KHUSRAU (SYIRIN PERSIA)

 

Syapur kelelahan setelah semalaman suntuk ikut pesta bersama pangeran muda Khusraw. Syapur coba mencari pasangan yang tepat unutk Khusraw, dan dia merasa puas dengan upayanya semalam. “Kugunakan trik tertua yang ada di buku, “pikirnya, menyeringai pada dirinya sendiri sambil naik ke pembaringan. “Dan Khusraw terperangkap! Semakin banyak semakin baik untuknya.” Dengan lebih serius Syapur membayangkan, ‘Yah, tinggal menunggu waktu hingga dia menemukan seseorang dan tenanglah hidup. Sampai kapan dia akan terus hidup bersenang-senang tanpa tanggung jawab?”

Apa yang sudah dilakukan oleh sepupu dan pejabat istana pangeran Khusraw tersebut adalah menceritakan seoran gputri yang pernah dilihatnya di Armenia dengan penuh semangat. Di akhir pesta, Kusraw telah begitu terpana oleh pesona putri tersebut sehingga dia langsung jatuh cinta pada bayangannya semata. Syapur sendiri kagum dengan gambaran yang keluar dari bibirnya, sulit dipercaya bahwa dia dapat menciptakan bayangan yang sangat memikat semacam itu.

Obyek fantasi Khusraw, yakni Syirin, tidak tahu sama sekali tentang rencana Syapur. Seandainya tahu pun, Syirin tidak akan peduli. Gadis muda ini terlalu mandiri untuk membiarkan masalah pernikahan mengganggu pikirannya. Barangkali justru jiwa bebasnya ini yang membuatnya sangat menarik. Dia dibesarkan sebagai satu-satunya pewaris tahta Armenia. Bibinya, Sang Ratu Agung Mahin, tidak memiliki anak, yang membuat Syirin menjadi penerusnya. Mungkin, karena itulah Syirin mencurahkan energinya untuk mempelajari berbagai keahlian yang biasanya tidak menarik minat kaum wanita di zamannya, seperti menunggang kuda, berburu, dan seni perang.

Bukan berarti Syirin tidak memiliki kualitas feminine, justru sebaliknya. Dia sangat cantik: matanya yang biru laut tampak bersinar, pipinya yang begitu merona tampak luar biasa, memberinya kulit terang; rambutnya bergelombang, tebal dan gelap, menari liar membingkai wajahnya. Benar-benar kecantikan yang sempurna sehingga pujian Syapur yang berlebihan pun sebetulnya masih wajar. Pangeran begitu ingin melihat Syirin, maka Syapur pun berangkat ke Armenia dengan maksud untuk membawa sang putri bersamanya.

Musim panas dengan cuacanya yang cerah dan bunga-bunga yang bermekaran, telah membawa kebahagian bagi Armenia. Kebiasaan Syirin selama musim panas adalah menghabiskan waktu seharian di daerah pedalaman. Tempat khususnya merupakan sebuah tempat peristirahatan di dekat air terjun yang dikelilingi semak belukar lebat, terlindung dari pandangan orang, di mana dia dan dayang-dayangnua dapat bebas berenang. Biasanya dia juga ditemani sahabat-sahabatnya.

Ketika Syapur tiba di ibukota Armenia, dia mendapat kabar bahwa putri sedang berpesiar ke luar kota. Syapur langsung melaju ke daerah pedalaman. Di jalan dia membuat rencana untuk menarik perhatian Syirin kepada Khasraw. Hari sudah sore ketika Syapur tiba di tempat peristirahatan kerajaan. Dia turun dari kudanya dan berjalan mengendap-endap. Sejenak dia mengamati putri dan para sahabatnya yang sedang bergembira dari balik sebuah pohon. Kemudian dia melihat sekelilingnya dan menemukan pohon kenari yang sempurna untuk menjalankan rencananya.

Dengan hati-hati dia mengambil sebuah gambar dari kantung sadelnya dan membawa gambar itu menuju pohon kenari. Seorang seniman berbakat telah membuat gambar tersebut, gambaran hidup yang begitu mirip dengan sang pangeran tampan. Dalam lukisan itu Khusraw mengenakan jubah satin berwarna biru gelap yang diberi ornamen intan dan safir, tangan kanannya bertumpu pada sebuah pedang yang menyembul dari ikat pinggangnya. Mata hitam Khusraw yang ekspresif menatap langsung mata orang yang melihat lukisan itu. Beberapa ikal hitam berantakan menghias keningnya, memberi kesan liar. Dengan hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tegas, gambar itu sangat menarik perhatian.

Syapur memajang lukisan itu pada pohon kenari, dan duduk menunggu di tempat yang agak jauh. Akhirnya Syirin berpisah dari teman-temannya. Dia berjalan perlahan, menghirup tiupan angin sepoi-sepoi dan wangi segar rerumputan. Ketika dia mendekati pohon kenari, langkahnya terhenti dan dia menutup mata, coba membebaskan pikirannya dari masa lalu atau pun masa yang akan datang. Pikirannya jernih, dia berdiam diri selama beberapa menit. Sambil tersenyum dia membuka matanya-dan terpaku pada lukisan yang bergantung pada pohon kenari. Penasaran, dia mendekati gambar tersebut dan mengamatinya.

Lukisan itu adalah gambar seorang lelaki paling tampan yang pernah dilihatnya. “Gambar siapa ini?” pikirnya. Dia mengambil gambar itu lalu menatap linglung sesaat, merasakan pusaran di perutnya. Apa yang terjadi padanya? Dia kembali ke tempat peristirahatan sambil menyembunyikan gambar itu di balik pakaiannya. Acara jalan-jalan yang tadinya akan dilakoninya, telah terlupakan. Sepanjang hari Syirin duduk di tepi sungai, menatap permukaan air. Dia tidak berbicara kepada siapa pun; bahkan tidak menjawab pertanyaan teman-temannya yang terkejut melihat perubahan suasana hatinya mendadak. “Ayolah, Syirin, ada apa denganmu?” Tanya mereka. “Engkau terlihat seperti orang yang barusan bertemu hantu.” Bukannya menjawab, Syirin berbalik menuju tendanya, mengeluarkan gambar itu, lalu memandanginya dalam-dalam.

Abigail-pengasuh Syirin, sudah mengenal baik perubahan suasana hati tuannya, tetapi kali ini kok ia tidak seperti biasanya. Dengan penuh rasa ingin tahu dia mengamati Syirin dari kejauhan. Ketika Syirin memasuki tendanya, Abigail mengikuti. Dengan hati-hati dia mengintip ke dalam tenda dan melihat Syirin yang sedang menatap sebuah gambar. Saat Syirin tertidur, Abigail berjingkat masuk, lalu perlahan-lahan menarik lukisan itu dari bawah kasur Syirin.

Karena terlalu khawatir terhadap tuannya, Abigail membawa lukisan itu kepada teman-teman Syirin dan menceritakan apa yang sudah dilihatnya. Setelah membahas perubahan aneh yang terjadi, teman-teman Syirin menyimpulkan bahwa Syirin, entah bagaimana menderita sakit karena cinta kepada lukisan yang ditemukannya. Sore itu juga mereka mendatangi Syirin dan menasihatinya agar melupakan semuanya. “Bagaimana jika bibimu mengetahuinya?” salah satu dari mereka bertanya. “Apa yang akan kauceritakan? Bahwa kau telah jatuh cinta kepada sebuah gambar?” namun tiada guna mengalihkan perasaan Syirin. Gambar itu telah menjerat hatinya.

Betapa Syirin dan Khusraw sudah saling jatuh cinta pada bayangan masing-masing-padahal bertemu pun mereka belum pernah! Ironis, ‘kan?

Syirin kembali pohon kenari beberapa kali, berharap menemukan secuil berita tentang orang yang ada di dalam gambar itu. Dia meminta dayang-dayangnya mencari di sekitar tempat itu dan melihat apa yang bisa mereka temukan.

Dayangnya menemukan Syapur, yang sedang bersandar di sebuah pohon tidak jauh dari tempat peristirahatan tersebut. Syapur dibawa menghadap sang putri. Setelah menyuruh dayangnya pergi, Syirin menanyai tentang siapa dirinya dan apa yang dilakukan Syapur di tempat peristirahatan Kerajaan Armenia. Syapur mengenalkan dirinya, menenteramkan hati sang putri dengan kehormatannya, dan menerangkan bahwa dia hanya seorang pengembara lewat.

Syirin menyipitkan mata dan menatap Syapur, “Ada orang yang telah menggantungkan gambar asing pada pohon di dekat sini,” katanya. Lalu Syirin memperlihatkan gambar itu kepada Syapur, “Apakah engkau melihat orang lain di sekitar sini?”

Syapur memandang gambar itu, pura-pura terkejut. “Kenapa” ini lukisan Pangeran Khusraw dari Persia!” Syapur menatap Syirin dengan ekspresi penuh kekaguman, “Beliau adalah orang yang paling berani.” Dia meletakkan lukisan itu dan berkata, “Hamba pernah mendapatkan kehormatan berada di dalam istananya dan menemaninya selama bertahun-tahun. Hamba juga kerabatnya.”

Terlupakan akan tujuan semula untuk mengetahui dari mana gambar tersebut berasal, Syirin mendesak Syapur bercerita lebih banyak tentang sang pangeran. Dengan cara yang sama ketika dia menceritakan sang putri kepada Khusraw, Syapur menggambarkan sepupunya kepada Syirin. Syapur membujuk Syirin supaya berangkat ke Persia sesegera mungkin untuk menemui Khusraw. “Hamba yakin pengeran akan tersanjung menemui tuan putri."

Syirin berpikir cepat. Bepergian ke Persia? Tetapi bagaimana dia bisa menjelaskan alasan kepergiannya kepada bibinya? Bagaimana jika dia pergi sendirian? Dia akan memikirkan beberapa alasan dan menulis surat kepada bibinya begitu dia tiba di Persia dan telah menemui pangerannya. Barangkali saat itu ada berita baik yang dapat disampaikan! “Aku tidak membiarkan seorang pun tahu atas kepergianku,” kata Syirin kepada Syapur, “karena bibiku mungkin akan mengirimkan orang-orangnya untuk menyusulku.”

Syapur menjamin bahwa dia akan mengalihkan perhatian para dayang sehingga Syirin dapat melarikan diri dengan aman. Dia akan bergabung dengan putri kemudian, dan memastikan tidak ada seorang pun yang mengikuti mereka. Dia menyarankan agar putri berpakaian seperti seorang laki-laki demi menjaga keamanan. Dia akan memberikan putri seperangkat pakaiannya dari kantung sadelnya.

Dan, begitulah, Syirin memacu kudanya, Syabdiz, yang merupakan kuda terbaik dan tercepat di Armenia. Tak seorang pun dapat berharap mengejar Syirin bila dia sedang menunggangi Syabdiz! Bahkan Syapur yang menyusul hanya dua jam setelah Syirin, tertinggal bermil-mil di belakang. Pada saat bibi Mahin mengetahui Syirin menghilang, gadis itu telah berada sangat jauh. Dan tak seorang pun tahu ke mana tujuan Syirin.

Di Persia, Raja Hurmuz mengadakan lawatan singkat. Memanfaatkan kepergian ayahnya, Khusraw memutuskan untuk membuat koin-koin baru yang bergambar dirinya sebagai pengganti sang raja. Ketika Hurmuz kembali ke Mada’in, ibukota Kerajaan Persia, dia sangat marah terhadap kelakuan putranya yang kurang ajar. “Apa yang dia fikirkan-'sekarang ayahku pergi, akulah Raja Persia?”’ ujarnya dengan marah kepada penasihatnya. “Aku ingin dia keluar dari ibukota. Dia tidak akan pernah kembali lagi ke sini!”

Tetapi bahkan sebelum titah raja disampaikan, Khusraw sudah pergi ke Armenia. Sahabat-sahabat Khusraw di istana telah memperingati Khusraw tentang kemarahan raja. Di samping itu, kesabarannya menipis, menunggu berita yang tak kunjung tiba dari Syapur. Dia memutuskan untuk mencari sendiri Syirin.

Di dalam perjalanan, Khusraw berhenti di sebuah sungai untuk beristirahat. Namun, dia merasakan bahwa dia tidak sendirian. Dengan hati-hati dia membawa kudanya bersembunyi di balik semak belukar. Tampak seorang gadis yang sedang berenang di sungai. Tubuhnya yang seperti di pahat dengan kulit putih-pualam bergerak mulus seperti seekor ikan di dalam air, dan rambutnya yang kusut, tampak liar melekat pada wajah dan bahunya, memberinya kecantikan yang alami. Khusraw menahan napas melihatnya. Entah bagaimana, dia merasa pernah melihat gadis itu sebelumnya, tetapi dia tidak ingat di mana atau kapan. Ketika gadis itu muncul dari air lalu mengenakan pakaian-yang anehnya, pakaian laki-laki Khusraw memalingkan muka, merasa jengah melihat tubuhnya yang telanjang.

Mendengar suara kuda meringik, pangeran kembali memalingkan muka-dan hanya menemukan bahwa gadis itu telah lenyap secepat angin. Khusraw berkuda mengelilingi daerah tersebut, tetapi tidak menemukan jejak gadis itu. “Kuda macam apa yang dapat berlari begitu kencang?” tanyanya heran.

Pangeran masih harus berusaha menempuh jarak bermil-mil sebelum akhirnya tiba di ibukota Armenia ketika dia melihat seseorang berkuda di kejauhan. Ternyata orang itu adalah Syapur. Khusraw menyambut Syapur dengan gembira dan menceritakan semua peristiwa yang terjadi di Persia ketika Syapur pergi, dan menambahkan bahwa dia sedang dalam perjalanan mencari suaka kepada Mahin. Syapur, pada gilirannya, mengabarkan berita tentang pelarian Syirin ke Persia. Khusraw baru menyadari bahwa gadis mempesona yang tadi dilihatnya berenang di sungai pastilah Syirin.

Sayangnya, mereka tidak mungkin kembali, karena Khusraw telah membuat ayahnya murka. Tanpa dukungan dan perlindungan ayahnya, hidup Khusraw terancam oleh anggota-anggota istana yang oportunitis. Dia sudah mencurigai bahwa ada pegawai istana yang sedang berencana merebut takhta, tetapi Khusraw tidak dapat membuktikannya kepada ayahnya. Yang lebih buruk, kepergian Khusraw dari istana akan memudahkan orang-orang itu menyerang raja. Khusraw mengkhawatirkan yang terburuk, tetapi sementara ini sebaiknya dia menjauh. Begitu kemarahan ayahnya reda, dia akan kembali dan meminta maaf. Maka Khusraw pun memacu kudanya terus ke Armenia.

Ketika Syirin tiba di Mada’in, dia baru tahu bahwa pangeran telah melarikan diri. Apa yang harus dia lakukan? Di satu sisi dia menyesal telah datang ke Persia, tetapi di sisi lain, dia tidak punya keberanian untuk kembali ke Armenia dan menghadapi bibinya. Ketika Raja Hurmuz diberitahu tentang identitas sang putri dan alasannya datang ke Persia, raja memperlakukan putri dengan sangat baik-bahkan beliau memerintahkan membangun rumah besar di permukiman Khusraw yang berada tidak jauh dari Mada’in. Sejumlah besar dayang ditunjuk untuk melayani putri itu. Syirin pun tinggal di dalam rumah besar itu dengan 100 orang pelayan, tetapi dengan hati yang sepi.

Di Armenia, Mahin menyambut hangat kedatangan Khusraw dan Syapur. Pangeran ditempatkan di sebuah vila kerajaan. Ketika Khusraw yakin bahwa Syirin tidak akan kembali dengan sendirinya, dia mengirim Syapur untuk menjemput putri kembali ke Armenia. Namun takdir menyimpan permainan lain bagi kedua pencinta tersebut. Belum sehari Syapur pergi, sebuah pesan datang dari Persia, mengabarkan bahwa Raja Hurmuz telah wafat. Khusraw diharapkan kembali ke Mada’in untuk menerima takhta. Oleh karena itu Khusraw berangkat ke Persia.

Menjelang kematiannya, hubungan Raja Hurmuz dengan Syirin berkembang dengan baik, raja memberinya keakraban yang cair dan sedikit jenaka, dan Syirin menikmati dukungan raja yang kebapakan-serta, tentu saja, keakraban mereka. Setelah kematian sang raja, Syirin merasa lebih kesepian lagi.

Syirin dan dayang-dayang Khusraw yang dikirim ke tempat tinggalnya tidak begitu akrab. Para dayang wanita itu, yang sebelumnya menjadi obyek cumbuan pangeran tidak menyukai Syirin. Mereka berpikir bahwa Khusraw akan jatuh cinta kepada Syirin bila keduanya bertemu. Didorong rasa cemburu, mereka berusaha menciptakan ketidaknyamanan bagi Syirin. Sindiran-sindiran kedengkian mereka wujudkan mulai dari menyediakan air mandi yang terlalu panas atau terlalu dingin, menyobek jahitan gaun sang putri sehingga melahirkan “kecelakaan”., hingga menyembunyikan bangkai tikus di dalam makanan sang putri. Syirin yang tidak curiga berusaha mengendalikan situasi. Ketika usahanya gagal, hatinya hancur berantakan, Syirin begitu sedih dan rindu pulang.
Di saat-saat seperti itu, Syirin menyesali keputusan yang tidak memberitahu bibinya ke mana dia pergi atau menjelaskan kepergiannya yang tergesa-gesa dari Armenia. Alasan apa yang dapat dia berikan, terutama karena pangeran tidak berada di Persia? Merundang-rundunglah kerinduan Syirin dan berharap ia tidak pernah meninggalkan Armenia. Oleh karena itu, ketika Syapur datang menjemputnya kembali ke Armenia, Syirin sudah jauh lebih dari siap untuk pulang.

Sayangnya, keduanya tidak menyadari bahwa Khusraw sedang dalam perjalanan menuju Persia. Dia mengambil jalan pintas dan bukannya jalan utama, sehingga tidak bertemu dengan Syirin dan Syapur.

Mahin yang lega melihat keponakannya selamat, menyambut Syirin dengan terbuka. Syirin kemudian menjelaskan kepada bibinya tentang alasan kepergiannya. “Nasib, nasib, begitu lucunya,” kata Mahin. “Tahu tidak, ketika kamu sedang mencari pangeranmu, eh, dianya berada di sini. Dan sekarang, ketika kamu kembali di sini, dia sudah ada di Persia.” Mahin merenung sejenak. “Apa pun bisa terjadi. Aku ingin engkau berjanji.” Syirin mengangguk tanda setuju. “Berjanjilah, bila tiba saatnya engkau bertemu dengan pangeranmu, engkau akan berhati-hati untuk bergaul lebih jauh dengannya. Aku takut ia hanya mengejar kesenangan dunia. Ini sungguh membuatku cemas.” Dengan ayunan tangannya Mahin menghentikan Syirin yang ingin membantah. “Ya. Aku tahu dia orang cakap, lincah, dan tampan, namun jika nanti engkau bertemu dengannya, jangan pernah menyetujui apa pun kecuali menikah dengannya.” Sudah jelas Mahin tidak akan menerima bantahan yang ingin dikatakan Syirin, jadi dengan patuh Syirin berjanji pada bibinya.

Beberapa hari setelah kedatangan Khusraw di Mada’in, Khusraw dianugerahi mahkota. Meskipun dia telah memperoleh kekuasaan duniawi yang tinggi, ia sangat berkonsentrasi pada kesempatan yang agung tersebut. Dia tidak berdaya, pikirannya tertuju pada Syirin. Kapan mereka akan bertemu?

Di antara anggota kerajaan, ada seorang yang bernama Bahran, jenderal yang tidak menginginkan Khusraw memegang tampuk kekuasan dan tidak menyetujui cara Khusraw memerintah. Bahram menulis surat kepada para petinggi tentara kerajaan, yang isinya menuduh Khusraw telah membunuh ayahnya sendiri dengan tangan dingin untuk memperolah mahkota kerajaan, dan penilaian bahwa Khusraw tidak becus mengurus Negara, serta hubungan cinta Khusraw. Dia menyebarkan rumor bahwa Khusraw telah jatuh cinta kepada gadis asing-jelaslah, katanya secara tidak langsung, semua raja muda hanya cakap membuang waktu untuk urusan romansa picisan. Bahram kemudian menyarankan kudeta militer untuk mengambil alih Negara dari pemuda yang berbahaya dan tidak berguna tersebut. Para petinggi kerajaan setuju, dan tidak lama kemudian, pihak militer di bawah pimpinan Bahram mengambil alih ibukota Persia. Khusraw yang tidak memperoleh dukungan dari sahabat-sahabat ayahnya, melarikan diri ke Armenia, tempat yang dia tahu akan menerimanya. Sementara itu Bahram menduduki takhta Persia.

Berita pergolakan di Persia sampai di Armenia. Syirin mengkhawatirkan Khusraw tetapi Syapur mampu menenangkannya. Syapur telah menjadi sahabat dan kepercayaan sang putri. “Jangan takut akan keselamatan Tuanku Pangeran,” kata Syapur, “beliau terlampau cerdas untuk membiarkan orang mencelakainya.”

Agar hati Syirin sedikit gembira, Syapur menyarankan untuk berburu rusa, satu hal yang dulu menjadi kegemaran sang putri. Oleh karena itu, Syirin bersama Syapur, diikuti beberapa orang pelayan, berkemah di sebuah tempat yang jauhnya 15 mil di luar ibukota Armenia. Pada hari kedua, Syirin melihat seorang penunggang kuda mendekat dari kejauhan, ketika semakin dekat, Syapur baru mengenalinya. Orang itu adalah Khusraw yang mengenakan baju putih petani. Setelah menunggu begitu lama dengan kerinduan yang mendalam, akhirnya Khusraw dan Syirin berdiri berhadapan. Tetapi pertemuan tersebut begitu mendadak dan tak terduga, sehingga keduanya hanya bisa menggumamkan salam malu-malu ketika diperkenalkan.

Khusraw berkuda bersama rombongan Syirin  menuju perkemahan yang menjadi tempat kesenangan Syirin di pedalaman. Diiringi pemusik dan para pelayan Syirin, mereka menghabiskan hari-hari dengan bernyanyi dan menari, minum dan bermain polo. Tentu saja, kedua kekasih yang sedang asyik itu tidak menyadari berapa lama waktu sudah berlalu.

Beberapa hari kemudian, Khusraw dan Syirin akhirnya dapat berduaan, jauh dari pandangan yang lainnya. Di bawah pohon kenari yang dulu pernah memajang gambar misterius Khusraw, mereka berciuman dan saling mengucapkan cinta. Namun ketika Khusraw meminta Syirin berkencan bersamanya, Syirin mundur selangkah, “Kupikir engkau mencintaiku,” katanya mencela.

“Aku mencintaimu,” jawab Khusraw. “Itulah sebabnya aku ingin bersamamu.”
Syirin menggigit bibirnya, coba menahan amarahnya, suaranya bergetar. “Ini bukan cinta, ini nafsu! Jika engkau benar-benar mencintaiku, pertama-tama engkau akan mengeluarkan si pengganggu itu, Bahram, dan mengambil kembali negeri yang menjadi hakmu-baru kemudian engkau meminta tanganku.”

Khusraw sangat terpukul oleh kata-kata Syirin yang tajam sehingga dia hanya dapat menjawab, “Tidakkah kautahu bahwa cinta kepadamulah yang membuatku meninggalkan negeriku dan datang kemari?” lalu dengan sekejap mata dia kembali ke perkemahan menaiki kudanya berderap pergi.

Khusraw tidak berhenti hingga dia mencapai Roma. Di situ ia meminta bantuan Kaisar Roma untuk merebut kembali negaranya dari Barham. Kaisar Roma yang terkesan dengan kemudaan dan kecakapan Khusraw, memberinya putrinya-Maryam-untuk dinikahi Khusraw, lantas mengirimkan pasukan Kerajaan Roma ke Persia. Di hari itu pasukan Khusraw berhasil memiliki kembali Persia, membunuh si penghianat Bahram, dan merebut kembali mahkotanya.

Setelah kepergian Khusraw yang kasar, Syirin menyesali diri, berharap ribuan kali seandainya saja dia lebih lembut terhadap kekasihnya. Tetapi sudah terlambat, dia sekarang sendirian lagi, hanya Syapur yang ada untuk menghiburnya. Syapur mendengarkan dengan sabar ratapan Syirin yang tanpa henti, dan menjadi teman bagi kesedihan Syirin-kesedihan yang berlipat ganda karena Mahin, yang telah menjadi ibu bagi Syirin , wafat akibat serangan radang paru-paru. Sekarang Syirin menjadi seorang ratu. Satu tanggung jawab yang merupakan hal terakhir yang diinginkan Syirin, namun pilihan apa yang dia miliki? Dia baru saja memebenamkan diri dalam urusan negerinya ketika ia menerima badai terakhir: datang berita yang mengabarkan bahwa Khusraw telah merebut kembali takhtanya, tetapi di sampingnya ada wanita lain. Maryam, putri Roma, sekarang menjadi isteri Khusraw. Hati Syirin luluh-lantak. Namun demikian, di tengah tangisnya dia masih sempat bergembira, karena Khusraw telah kembali mendapatkan kembali haknya sebagai raja Persia.

Pada akhirnya Syirin tidak dapat lagi menanggung perpisahannya dengan Khusraw. Tugas-tugas kerajaan bahkan tidak dapat mengalihkannya dari deritanya. Syirin merasa seperti orang asing di negerinya sendiri, dan merasa tidak mampu menjalankan kewajibannya kepada rakyatnya. Karenanya, setelah berembug dengan Syapur, dia memutuskan untuk meninggalkan Armenia, menyerahkan urusan Negara kepada sepupu satu-satunya. Berangkatlah Syirin ke Persia.

Syirin masih memiliki gedung yang dulu dibangun untuknya di dekat Mada’in. di situlah dia berada agar dapat mendengarkan berita mengenai Khusraw setiap hari. Dia juga membangun ruangan khusus untuk Syapur, yang ikut menyertainya ke Persia.
Begitu Khusraw mendengar bahwa Syirin tinggal di dekatnya, api cintanya yang tertidur kembali bersemi. Khusraw menyuruh kurir menyelidiki, dan dia mendapatkan berita kehidupan Syirin sedetail-detailnya, selengkap-lengkapnya. Setelah membuat keputusan, Khusraw memberitahu isterinya, “Sayangku, aku ingin Ratu Syirin pindah ke istana ini.” Dengan ekspresi serius Khusraw coba sebisa mungkin agar tidak mengkhianati perasaan terdalamnya. “Aku diberi tahu bahwa para pelayannya tidak banyak membantu, padahal rumahnya sudah tidak dapat lagi menampung salah satu bawahannya.” Khusraw menatap lembut mata Maryam yang menyelidik-Maryam jarang menatapnya seperti itu. “Aku akan dianggap tidak baik bila membiarkan ratu Syirin dalam keadaan begitu sederhana. Dia seorang anggota kerajaan, dan pikiran bahwa aku mengabaikan tamuku diperlakukan tidak selayaknya akan menggangguku.” Khusraw tersenyum berharap dapat meyakinkan isterinya bahwa dia hanya menjaga kehormatan dirinya sendiri.

Maryam telah mendengar rumor yang menyangkut cinta suaminya terhadap Syirin, dan tidak tertipu oleh akting gombal Khusraw yang murahan. Dia mulai menangis tersedu-sedu, menuduh Khusraw tidak mencintainya, serta menuduh Khusraw tengah berencana menjalin hubungan romantis diam-diam dengan Ratu Armenia. “Tidak ada yang tidak layak dan tidak terhormat karena membiarkannya hidup dengan jalan pilihannya sendiri. Jika ia ingin hidup sebagai anggota kerajaan, dia akan tetap tinggal di istananya sendiri, bukan?” tantang Maryam. “Di samping itu,” tambah Maryam, “dia tidak pernah datang menghadap untuk menghormati kita. Jadi, dia pasti berharap dibiarkan sendirian.” Ketika Khusraw tidak memperhatikan tangis ataupun argumennya, dengan marah Maryam melangkah maju, jarinya terangkat dengan sikap yang mengerikan, dan mengancam, “Jika nanti aku tahu engkau mendekati Syirin sedikit saja, aku akan bunuh diri. Itu sumpahku!”

Khusraw tidak pernah lagi menyebut nama Syirin bila isterinya ada. Tetapi diam-diam dia memohon Syirin untuk bertemu. Namun, Syirin menolaknya dan segera mengirimkan pesan singkat: “Sebaiknya engkau tetap setia kepada isterimu.”

Melewati hari-hari yang panjang, siang malam memikirkan dan mencemaskan sang raja, akhirnya membuat Syirin lemah dan sakit. Tabib istana memberinya resep susu kambing, tetapi satu-satunya ternak gembala yang tersedia berada di sebuah gunung. Siapa yang akan mengambilkan susu dengan jarak yang begitu jauh? Syapur punya gagasan untuk mengatasinya: ada seorang arsitek seniman yang bernama Farhad yang tinggal di dekat situ. Pastilah Farhad punya jawabannya. Syapur mengundang Farhad dan menjelaskan keadaan buruk yang menimpa Syirin. Maukah Farhad memikirkan cara agar dapat segera mengambil susu kambing untuk Syirin? Ketika seniman muda berbakat itu melihat Syirin, dia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Terbakar oleh gairah baru pada tugas yang dipercayakan kepadanya, Farhad bersumpah akan membawa susu tersebut kepada Syirin, tak peduli apa pun yang akan dihadapinya.
Farhad yang tinggi dan tampan adalah seorang yang terkuat di Armenia. Dia hidup dengan jujur dan tidak peduli dengan semua kilauan harta atau materi. Bila dia mendesain sebuah bangunan, motifnya semata-mata karena dia tertarik dengan pekerjaan tersebut, atau karena ingin membantu orang-orang yang memerlukan bakat dan karyanya. Sekarang, dengan gairah baru, tanpa menunda waktu ia mengambil peralatannya dan pergi ke gunung. Seminggu kemudian, arsitek besar tersebut telah mendesain dan membangun terowongan yang menghubungkan gunung dengan vila Syirin. Para gembala memerah susu kambingnya, dan pasokan susu tersebut mengalir langsung menuju pintu Syirin.

Untuk menunjukkan penghargaannya atas pekerjaan Farhad yang penuh cinta, Syirin mengundang Farhad dan menyampaikan rasa terima kasihnya secara pribadi. Setelah memuji hasil karanya, Syirin mengambil anting-anting lalu menyerahkan kepada Farhad sambil berkata, “Engkau akan menjadi kesayanganku. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Terimalah giwang ini sebagai tanda persahabatan. Giwang ini adalah seluruh kekayaanku yang tersisa sejak aku meninggalkan Armenia.”

Bagi Farhad, hadiah berharga tersebut melebihi dari apa yang pernah dia harapkan. Farhad membawa giwang tersebut bersamanya ke mana pun dia pergi, dan menjadi mabuk cinta kepada Syirin. Farhad menghabiskan hari-harinya sendirian di gunung, hanya meminum aliran susu dari terowongan yang dulu dibuatkannya untuk Syirin, demi memenuhi kebutuhan gizinya. Terkadang dia berjalan di dekat rumahnya Syirin, berharap dapat memandang sekilas wajahnya. Dia berbicara dengan terbuka kepada orang-orang tentang perasaannya, dan tidak lama kemudian setiap orang di Mada’in sudah tahu bagaimana perasaan Farhad terhadap Syirin.

Khusraw pun mendengarnya. Dia memerintahkan agar Farhad dibawa menghadap, dan sekarang, dengan tidak sabar Khusraw menatap aula besar di mana dia akan menerima sang arsitek. Meski berusaha keras, dia tidak juga dapat mengendalikan ketakutan akan kehilangan Syirin, bahwa Syirin akan bersama orang yang akan ditemuinya. Ketika penasihatnya mengumunkan kedatangan Farhad, Khusraw memasang ancang-ancang untuk menghadapi sang pendatang.

Farhad membungkukkan badan sebagai salam hormat. Dan perlahan meluruskan badan, menatap raja, menunggu titah.

“Engkau Farhad, si arsitek itu?” ketika Farhad mengangguk membenarkan, Khusraw menyuruh duduk. “Aku telah mendengar tentang dirimu,” kata Khusraw sambil berjalan melalui pemuda yang sekarang duduk bersila di lantai, matanya tampak kuyuh. “Asalmu dari mana?”

Untuk menambah kerisauan sang raja, Farhad tidak menunjukkan tanda ketidaknyamanan. Kenyataan bahwa kehadiran Yang Mulia Raja Persia tidak mempengaruhi sedikit pun. Dengan tenang Farhad mengangkat wajahnya dan menatap Khusraw. “Jika Yang Mulia maksudkan adalah di mana hamba lahir, hamba harus mengatakan bahwa hamba lahir di Mada’in. tetapi sejak hamba jatuh cinta, rumah hamba adalah di mana pun kekasih hamba tinggal.”

Tampang geram menghias wajar Khusraw seperti bayangan. Tak seorang pun yang berani berbicara dengan raja dengan sikap selantang itu. Namun pemuda tersebut berkata jujur. “Aku diberitahu tentang pekerjaanmu untuk Yang Mulia Ratu Armenia. Benarkah engkau jatuh hati kepada Yang Mulia?”

Farhad mengangguk. “Benar, hamba mencintai Yang Mulia Ratu, dan ingin mengabdikan hidup hamba untuknya.”
“Itu mustahil,” Khusraw menggertakkan giginya dan menatap langsung mata Farhad. “Jangan berharap akan ada keberlanjutan pada kegilaanmu ini.”

“Mungkin bagi Yang Mulia ini terlihat seperti kegilaan, namun bagi hamba, ini adalah cinta sejati,” jawab Farhad. “Dan cinta sejati tidak memiliki akhir. Meskipun terlihat seolah berakhir dengan kematian fisik sang pencinta, di dalam kenyataannya tetap akan abadi.”
Untuk pertama kali dalam hidupnya Khusraw menemukan lawan tanding yang tangguh. Sebenarnya, bersaing dengan pemuda tersebut akan menjadi sebuah tantangan. Setelah mengambil napas panjang, Khusraw membelakangi Farhad, coba mengendalikan kemarahannya. “Bagaimana dengan perasaannya? Sudahkah engkau mempertimbangkan apa yang mungkin Yang Mulia Ratu harapkan? Dan bagaimana jika dia meminta apa yang tidak engkau miliki, atau menuntut perbuatan yang bukan berada di dalam kuasamu untuk melakukannya?”

“Hamba tidak berharap Yang Mulia Ratu membalas cinta hamba; hamba hanya meminta diizinkan untuk mencintainya.” Farhad beranjak dari duduknya kemudian bangkit ketika Khusraw mengangguk. “Hati hamba, satu-satunya yang hamba miliki, sudah menjadi miliknya,” kata Farhad yang sekarang berhadapan muka dengan sang raja, “dan apabila dia menginginkan yang lebih dari hamba, hamba akan memohon kepada Tuhan agar menganugerahi kekuatan kepada hamba untuk memenuhi keinginannya.”

Khusraw bergerak menuju pelayannya untuk menuangkan dua gelas anggur, lalu dia menyerahkan satu gelas anggur kepada Farhad. “Sahabatku,” katanya, tersenyum untuk pertama kalinya, “bagiku, kehidupanmu tampak penuh kepahitan dan masalah.” Khusraw meneguk anggurnya dan menepuk bahu Farhad, menggiringnya ke jendela besar yang memperlihatkan pemandangan taman. “Kenapa engkau mau hidup di dalam kehidupan di mana kekasihmu tidak berbuat apa-apa selain sekedar tahu keberadaanmu, padahal engkau dapat memiliki seluruh cinta yang kauinginkan dari wanita cantik lainnya? Kenapa engkau harus hidup melarat dan penuh derita, padahal engkau dapat memiliki uang dan harta yang kau inginkan?”

Farhad memahami apa yang disarankan Khusraw, tetapi kalau pun dia marah, ia tidak menunjukkannya sedikit pun. Dengan tenang Farhad berpaling kepada raja, “Hamba tidak menganggap hidup hamba sakit, karena bagi seorang lak-laki yang benar-benar mencintai, sakit dan obatnya adalah satu dan sama, sama dan satu. Dan kenyataan bahwa kekasih hamba mengetahui diri hamba atau pun tidak, adalah bukan tanggung jawabnya. Hamba mencintainya demi kepentingannya dan bukan demi hamba. Cukup bagi hamba hanya mencintainya. Dan sejauh hasrat hamba yang diperhatikan, bagaimana hamba dapat memiliki hasrat, bila hamba sendiri sulit menyadari keberadaan hamba?”

“Bagaimana jika seandainya rajamu memerintahkanmu agar meninggalkan Yang Mulia Ratu dan meninggalkan cinta yang bodoh ini?”

Farhad tahu bahwa Khusraw pernah mencintai Syirin, tetapi baru sadar bahwa Khusraw masih sangat mencintai Syirin. Tiba-tiba dia merasa iba kepada sang raja. “Itu tidak dapat hamba patuhi, Tuanku,” katanya dengan kilatan kesedihan di matanya.

Semakin panjang percakapan itu berlangsung, Khusraw merasa semakin kalah. Karena itu Khusraw menyuruh Farhad keluar ruangan lalu memanggil para penasihatnya. “Dia orang yang berbahaya,” kata Khusraw. “Kita tidak dapat menyuapnya dengan apa pun.” Kening Khusraw berkerut. “Kita harus memikirkan cara untuk mengusirnya.”

Para penasihat itu berunding dengan cepat dan memberitahukan tindakan apa yang harus diambil. Khusraw kembali memanggil Farhad. “Kami berjanji tidak akan mengganggu kau dan Syirin asalkan dengan satu syarat,” ucap sang raja.
Arsitek muda itu menjatuhkan dirinya bersujud, airmata bahagia menggelimang di pipinya. “Apa pun titah Yang Raja Agung inginkan!”

“Kami memerlukan jalan tembus yang melalui gunung Bistun, agar kita dapat bepergian ke sisi lain gunung itu dengan lebih cepat dan efisien.”

Selama bertahun-tahun Gunung Bistun menjadi rintangan yang berat. Semua upaya untuk membangun jalan tembus berupa terowongan mengalami kegagalan, karena batu granit pada tebingnya tidak memungkinkan para pekerja membuat jalan perintis. Belum ada yang mampu mengatasi kesulitan proyek tersebut. Khusraw tersenyum sendiri. Begitu Farhad memulai tugas yang mustahil tersebut, tidak ada harapan untuk kembali.
Begitu engkau menyelesaikan pekerjaanmu, demi kepuasan kami,  kami akan menikahkanmu dengan Syirin,” kata Khusraw.

“Hamba akan mulai besok. Dan hamba akan melakukanya dengan kemampuan terbaik hamba,” jawab Farhad, gembira karena sebentar lagi Syirin akan menjadi miliknya.
Bagi Farhad, proyek Gunung Bistun tidaklah sulit. Memimpikan kekasihnya ketika dia bekerja keras, membuat pekerjaan tersebut lebih mudah buatnya. Dia tidak menghiraukan terik matahari, otot-ototnya yang sakit, ataupun punggungnya yang terluka. Setiap pukulan palu, baginya laksana kata-kata manis dari Syirin. Pada malam hari, ketika dia berhenti bekerja, ia memahat lukisan Syirin, Khusraw, dan dirinya pada batu. Kemajuan hasil pahatannya mencerminkan kemajuan pekerjaannya di gunung.
Syirin, yang mendengar upaya Farhad, langsung tahu bahwa itu adalah rencana yang ditujukan untuk kematian Farhad. Syirin menyadari bahwa dia harus memaksakan diri untuk berangkat ke Bistun dan memperingatkan sahabatnya.

Mereka berbincang-bincang. Farhad memperlihatkan hasil karyanya. Proyek itu sudah berjalan lebih dari setengahnya, dan Syirin memutuskan untuk tidak memberitahukan sama sekali tentang rencana Khusraw. “Khusraw akan dikalahkan  oleh rencananya sendiri,” pikir Syirin.

Pada hari itu juga Syirin kembali pulang dengan keyakinan akan menang. Namun kunjungan Syirin diketahui. Mata-mata raja membawa berita tersebut kepada Khusraw. Tertekan-panik, sang raja mengumpulkan para penasihatnya. Di satu sisi dia takut Syirin akan jatuh cinta kepada Farhad-untuk apa lagi Syirin menempuh kesulitan bila hanya untuk mengunjungi Farhad? Di sisi lain, konstruksi jalan pintas Bistun hampir selesai, apa yang harus ia lakukan dengan janjinya kepada Farhad? Dia telah meremehkan sang pencinta.

Khusraw menyukai ide baru penasihatnya. Karena itu dia mengirim seorang lelaki tua ke Gunung Bistun. Orang ini menyapa Farhad dengan wajah sedih. “Apa yang kau lakukan pada gunung ini?” tanyanya.

Farhad menjelaskan tugasnya lantas menambahkan, “Untuk cintaku tidak ada kerja yang sulit.” Dia menggores tanah dengan palunya. “Aku akan memindahkan gunung ini bila perlu.”

Lelaki tua itu menggelengkan kepala dengan sedih. “Kasihan…,” katanya. Lalu memalingkan wajah seakan-akan ingin menyembunyikan airmata. Gerak isyarat tersebut memancing Farhad.

“Apa maksudmu?” Tanya Farhad sambil meletakkan palu.
“Tidak ada.” Lelaki itu tampak enggan bicara.
“Engkau harus mengatakannya kepadaku.”
“Aku tidak dapat mengelak berpikir bahwa engkau bekerja begitu keras… dan untuk apa?”
Farhad memegang bahu lelaki tua itu dan membalikkan tubuhnya, “Tolonglah, katakan apa yang engkau tahu!”
“Kekasihmu sudah tiada,” lelaki tua itu membuka rahasia dengan nada gusar dan sedih. “Syirin telah tiada dua hari yang lalu.”
Farhad melepaskan bahu lelaki tua itu, tubuhnya merosor terduduk di tanah, terpaku.
Malam sudah datang. Orang tua itu sudah lama pergi. Namun Farhad belum sedikitpun berubah posisi.

Sedikit demi sedikit, dia mati rasa. Dia tidak memiliki tenaga lagi untuk berdiri. Seakan-akan seluruh pekerjaan fisik berbulan-bulan yang telah dilakukannya tiba-tiba berbalik menyerang tubuhnya. Dia beringsut-ingsut menyeret dirinya di tanah hingga ia bisa meraih pahatan wajah Syirin yang dibuatnya. Tangannya, yang penuh parut dan melepuh, mulai berdarah ketika Farhad membelahi pahatan itu, meninggalkan darahnya pada wajah yang terpahat. Kemudian dia menekan wajahnya dengan penuh derita pada pahatan paras Syirin.

Keesokan harinya, Khusraw memindahkan tubuh Farhad yang sudah tidak bernyawa dari Bistun, dan menguburkannya dengan nisan sederhana.
Syirin berkabung atas kematian Farhad selama beberapa hari. Khusraw menulis ucapan dukacita kepada Syirin, yang dijawab dengan ucapan : “Engkau telah mencabut persahabatan kami. Aku berdoa semoga Tuhan akan mengampuni jiwamu.”

Kenangan tentang Farhad segera sirna dari benak orang-orang. Kehidupan terus berlanjut. Cinta Syirin kepada Khusraw lebih kuat dari sebelumnya-begitu kuat, sehingga Syirin memaafkan apa yang pernah dilakukan Khusraw kepada Farhad. Syirin masih mencintai Khusraw, sedangkan Khusraw juga masih mencintai Syirin. Mereka tidak pernah bertemu, namun masing-masing selalu berusaha mencari tahu kabar satu sama lain dari teman-teman mereka.

Sekali lagi tragedi terjadi, ketika Maryam-sang ratu, sakit mendadak dan menemui ajalnya. Ketika masa berkabung telah berlalu, Syirin mengirimkan ucapan belasungkawa kepada Khusraw, dengan kalimat tambahan, “Sekalipun ratu telah tiada, raja tak perlu merasa cemas. Aku yakin Yang Mulia dapat menemukan kesenangan hidup dalam pelukan wanita lainnya yang banyak tersedia.” Geram karena ejekan tersebut, Khusraw tidak menjawabnya. Sebaliknya, dia menuruti saran Syirin dan benar-benar melakukannya.

Selama dua tahun Khusraw menyibukkan diri dengan mencobai berbagai jenis perempuan cantik. Tetapi akhirnya kemarahannya mereda dan dia menyesali perbuatannya yang gegabah. Dia ingat kembali kepada sobat lama sekaligus keluarganya, yaitu Syapur, yang telah menemani Syirin selama bertahun-tahun. Khusraw kemudian mengirim pemberitahuan bahwa dia ingin bertemu.

Syapur mengatur pertemuan pribadi dengan sang raja di ruangannya. Syapur juga mengupayakan agar Syirin menunggu di ruang sebelahnya. Dalam jawabannya terhadap pertanyaan sang raja mengenai Syirin, Syapur meyakinkan Khusraw bahwa Syirin belum berhenti mencintainya dan tidak membiarkan seorang lelaki pun memasuki hatinya. Syirin mengikuti berita tentang sang raja setiap hari, kata Syapur, menunggu saat untuk bertemu kembali dengan Khusraw. “Aku lebih mengenalmu daripada dirimu sendiri,” kata Syapur kepada Khusraw. “Aku tahu engkau juga masih mencintainya. Tetapi, seperti halnya Syirin, engkau terlalu angkuh dan terlalu keras kepala untuk mengakuinya.” Syapur berjalan mendekati sang raja. “Ayo, sekaranglah waktunya untuk bertemu dengannya. Engkau berutang maafnya.” Sebelum raja dapat menjawab, Syirin melangkah masuk. Diam-diam Syapur lalu menyelinap pergi, menutup pintu di belakangnya.

Kemarahan dan keputus-asaan yang mengendap bertahun-tahun seolah lenyap begitu kedua pencinta itu berpelukan. Khusraw dan Syirin membincangkan semua yang telah mereka alami selama perpisahan mereka. Kemudian Khusraw berlutut di hadapan Syirin dan dengan rendah hati memohon Syirin agar mau menjadi ratunya.

Keesokan harinya, Syirin dikawal menuju ibukota. Enam orang pelayan membantunya mengenakan baju gaun pengantin yang paling mewah yang ada di kerajaan itu. Seluruh penduduk kota diundang menjadi saksi peristiwa magis penyatuan Syirin dan Khusraw ketika mereka berlutut di hadapan pendeta tertinggi. Akhirnya, mereka bersatu di dalam mahligai pernikahan. Perayaan pernikahan tersebut berlangsung gegap-gempita selama berhari-hari.

Syirin menyerahkan takhta Armenia kepada Syapur, dan menjadi penasihat paling bijak bagi Raja Khusraw. Rakyat mencintainya, dan dengan bebas datang menemuinya membawa persoalan mereka. Syirin akan mendengarkan mereka dan membuat rekomendasi kepada Khusraw. Persia tidak pernah tampak semakmur seperti saat itu.

Namun ada satu titik gelap di dalam gambaran yang cerah ini. Titik gelap itu adalah Shirwieh, putra Khusraw dari Maryam. Pemuda ini telah mengalami masa kecil berliku-liku, dan Khusraw mencemaskannya. Oleh karena itu, atas saran para penasihatnya, sang raja tidak mengumumkan Shirwieh sebagai pewaris takhtanya. Shirwieh tidak tahan melihat ayahnya bahagia dalam pernikahan barunya dan melihat ayahnya semakin popular di mata rakyat. Sudah lama Shirwieh menyimpan dendam, dia menyalahkan kematian ibunya sebagai akibat pangabaian Khusraw. Keadaan bertambah buruk, karena pemuda itu tidak dapat menolak pesona kecantikan Syirin dan jatuh cinta kepada Syirin. Semua kepiluan ini membuat Shirwieh yang iri dengki diam-diam berencana membunuh ayahnya.

Untuk membangun kekuatan di istana raja, Shirwieh menyogok orang-orang di situ dan menjanjikan mereka kesejahteraan dan posisi yang akan mereka peroleh apabila ia berkuasa. Dengan hati-hati dia mengumpulkan orang-orang di sekelilingnya dengan cara menyamar ke tempat-tempat umum, dan bersikap sebagai orang biasa. Meskipun Raja KHusraw tidak pernah memberi komentar dan saran serius di istana menanggapi pendapat Shirwieh, Shirwieh memberi kesan kepada publik bahwa dia-lah yang telah membela orang-orang lemah di istana, dan bahwa dia-lah yang berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Setelah mengambil hati rakyat dan menjilat pejabat istana, Shirwieh member sentuhan puncak pada rancangannya: dia dan pengikutnya menawan Khusraw dan Syirin di istananya sendiri. Putra yang jahat itu lantas menduduki takhta dan mengumumkan dirinya sebagai raja.

Anehnya, sang Raja tidak berusaha mengambil kembali mahkotanya. Bersama ratunya, dia hidup terasing dalam ruangan yang sederhana di mana mereka dikurung.
Melihat kebahagiaan mereka, palu kekalahan meremukkan hati Shirwieh. Dalam bayangannya yang penuh hasrat, Shirwieh mengira Syirin akan tetap ingin menjadi ratu, dan akan dengan pasrah kepadanya-raja yang baru. Namun Syirin terus setia kepada cintanya. Hal yang tidak dapat ditahan Shirwieh melihat Syirin selalu berada di dalam pelukan ayahnya. Oleh karena itu Shirwieh menyibukkan diri dengan rencana barunya.
Lewat tengah malam, bulan purnama bersinar, tidak ada suara terdengar dan keheningan meliputi istana. Diam-diam Shirwieh membuka pintu ruang tawanan. Syirin dan Khusraw tampak berdampingan terlelap dengan damai. Shirwieh merasakan amarah bergejolak di dalam dirinya. Dia menggertakan giginya, dan mencabut belati dari sarungnya. Dia menggenggam belati itu di atas tubuh ayahnya sesaat, lalu menghujamkannya tepat  pada jantung ayahnya. Shirwieh bergegas lari menuju pintu dan meninggalkan ruangan tersebut.

Khusraw terbangun oleh rasa sakit yang membakar dadanya. Dia sadar ia sedang sekarat, namun tidak ingin membuat Syirin takut, jadi dia menggigit bibirnya, menahan penderitaannya hingga akhirnya dia tidak kuat lagi membuka matanya. Tak lama kemudian, basahnya darah Khusraw membangunkan Syirin. Tetapi, sudah terlambat, karena suami tercintanya telah tiada-dibunuh dengan tangan dingin.

Tidak sulit bagi Syirin untuk menebak siapa pembunuhnya, tapi dia tidak berkata apa-apa. Penampilan Syirin sepenuhnya tenang dan pasrah, dengan anggun dia menerima lamaran Shirwieh. Dia hanya meminta waktu untuk mengadakan pemakaman yang terhormat bagi Khusraw.

Diam-diam Syirin memberikan seluruh miliknya kepada kaum papah, hanya menyimpan perhiasan dan gaun terbaliknya yang dikenakannya pada hari pemakaman. Ketika dia bergabung dengan para bangsawati lainnya selama prosesi pemakaman, orang-orang terkejut melihat bagaimana dia sengaja berdandan dan bersolek. Apakah itu sikap yang pantas bagi seorang janda yang sedang berkabung? Dan yang lebih buruk lagi, sang ratu kemudian menari di kawasan perkuburan tersebut. Kelihatannya dia begitu senang dengan kematian suaminya-atau mungkin dia juga sudah gila!

Di dalam ruang pemakaman Khusraw, Syirin meminta semua temannya supaya membiarkannya sendirian untuk mengucapkan perpisahan kepada suaminya. Ketika semua orang telah meninggalkan ruang pemakaman, Syirin berdiri diam di samping suaminya, dengan penuh rasa hormat menatap mata suaminya yang terpejam. Kemudian dengan tenang dia meraih sesuatu dari balik gaunnya dan mengeluarkan pisau yang disembunyikannya. Tanpa ragu Syirin menancapkan pisau tersebut pada jantungnya sendiri. Syirin terjatuh di atas tubuh suaminya, dia merebahkan kepalanya di atas dada suaminya. Syirin meninggal dengan senyum di bibirnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar